PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE
TEAMS ASSITED INDIVIDUALIZATION (TAI) PADA
MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS
X MAN KOTO BARU PADANG PANJANG
PROPOSAL
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas TerstrukturPada Mata Kuliah
Metodologi Penelitian Pendidikan dan
Pengajaran Matematika
Oleh:
ELFI
WAHYUNI
2410.017
dosen Pembimbing:
M. Imamuddin, M.Pd
dddd
O
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
2013 M/1434 H
KATA PENGANTAR
Puji
beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan
proposal ini dengan judul ”
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Assited Individualization (TAI) Pada Mata Pelajaran Matematika di Kelas X
MAN Koto Baru Padang Panjang Tahun Pelajaran” ini tepat pada waktunya. Shalawat beriringan salam
penulis do’akan kepada Allah SWT agar senantiasa tercurahkan buat tambatan hati
pautan cinta kasih yakninya Nabi Muhammad SAW.
Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan proposal ini secara umumnya dan kepada Dosen Pembimbing Metodologi Penelitian Perencanaan dan
Pengajaran Matematika secara khususnya.
Penulis
menyadari dalam peyusunan proposal ini banyak terdapat kekurangan karena
penulis masih dalam tahap pembelajaran.
Namun, penulis tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.
Kritik
dan saran dari penulisan makalah ini sangat penulis harapkan untuk perbaikan
dan penyempurnaan pada proposal penulis. Untuk itu penulis ucapkan terima
kasih.
Bukittinggi, Januari
2013
Elfi Wahyuni
2410.017
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan bagi umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok
manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju,
sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka[1].
Hal tersebut sejalan dengan dalam firman Allah dalam surah
At-Taubah ayat 122 yang berbunyi:
$tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya”[2].
Berdasarkan ayat tersebut
jelaslah bahwa memperdalam ilmu pengetahuan hukumya adalah fardu kifayah, ilmu
pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar yang dilalui
oleh seseorang tidak terbatas hanya untuk kalangan dan usia tertentu saja,
melainkan dapat dilakukan oleh setiap orang, kapan dan dimanapun mereka berada
sepanjang hayat.
Salah satu cabang ilmu pengetahuan tersebut adalah
matematika. Matematika adalah salah satu disiplin ilmu yang berpengaruh dan
mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
memajukan daya pikir manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Erman Suherman,
dkk yang menyatakankan bahwa “para pelajar memerlukan matematika untuk memenuhi
kebutuhan praktis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
dapat berhitung, menghitung isi dan berat, mengumpulkan, mengolah, menyajikan
dan menafsirkan data, dapat menggunakan kalkulator dan komputer. Selain itu
agar siswa mampu mengikuti pelajaran matematika lebih lanjut, untuk membantu
memahami bidang studi lain, dan agar para siswa dapat berpikir logis, kritis,
dan praktis, serta bersikap positif dan berjiwa kreatif”[3]. Oleh
karena itu, mata pelajaran matematika diberikan pada setiap jenjang pendidikan.
Selain itu agar siswa mampu mengikuti pelajaran matematika
lebih lanjut, untuk membantu memahami bidang studi lain, serta dapat digunakan
dalam kehidupan yang lebih luas. Hal ini diungkapkan dalam tujuan khusus
pengajaran matematika Sekolah Menengah Umum (SMU), yaitu agar:
1. Siswa memiliki
pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi;
2. Siswa memiliki
keterampilan matematika sebagai peningkatan matematika Pendidikan Dasar untuk
dapat digunakan dalam kehidupan yang lebih luas (di dunia kerja) maupun dalam
kehidupan sehari-hari;
3. Siswa memiliki pandangan
yang lebih luas serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, sikap
kritis, logis, objektif, terbuka, kreatif, serta inovatif;
4. Siswa memiliki kemampuan
yang dapat dialihgunakan (transferable) melalui kegiatan matematika di SMU.[4]
Siswa
yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah, suatu saat akan melanjutkan
pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi dan setelah itu mereka akan memasuki
dunia yang lebih luas, sehingga mereka membutuhkan bekal yang dapat
menghantarkan mereka kepada tujuan tersebut, dan bekal ini dapat diperoleh
siswa dalam pembelajaran matematika. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa matematika merupakan salah satu
disiplin ilmu yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan dan merupakan salah satu bekal yang dapat
menghantarkan siswa menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Menyadari pentingnya matematika dalam kehidupan,
seharusnya mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang menarik dan
menyenangkan. Agar siswa tertarik mengikuti pelajaran matematika, maka
seharusnya pelajaran matematika dilaksanakan dengan cara yang menarik,
menyenangkan, dan melibatkan siswa secara aktif. Hal ini sejalan dengan
pendapat Oemar Hamalik yang menjelaskan bahwa guru dan siswa senantiasa
dituntut agar menciptakan suasana lingkungan belajar yang baik dan
menyenangkan, menantang dan menggairahkan[5]. Selain
itu, dijelaskan kembali oleh Oemar Hamalik yang menyatakan bahwa:
“Kondisi subjek belajar turut
menentukan kegiatan dan keberhasilan belajar. Siswa dapat belajar secara
efektif dan efisien apabila berbadan sehat, memiliki intelegensi yang memadai,
sikap untuk melakukan kegiatan belajar, memiliki bakat khusus, dan pengalaman
yang bertalian dengan pelajaran, serta memiliki minat untuk belajar ”[6].
Keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran dan
pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan diharapkan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Hasil belajar siswa yang meningkat diharapkan juga dapat
meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di MAN
Koto Baru Padang Panjang pada awal bulan Desember 2012 lalu, peneliti melihat
bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan belum optimal sehingga pencapaian
tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan belum tercapai. Pada
pembelajaran, siswa masih cenderung terpusat kepada guru atau peran guru di
kelas lebih dominan dibandingkan siswa. Hal ini terlihat ketika pembelajaran
berlangsung, materi diberikan oleh guru, defenisi dan rumus juga diberikan,
penurunan rumus dan penyelesaian soal dilakukan sendiri oleh guru, kegiatan
siswa adalah mendengar dan membuat catatan, serta mengerjakan latihan yang
diberikan oleh guru. Ketika guru meminta siswa mengajukan pertanyaan tentang
hal-hal yang tidak mereka pahami, siswa tersebut malas bertanya dan hanya diam.
Siswa juga merasa tidak percaya diri untuk menjawab ataupun memberikan
pertanyaan/tanggapan secara terbuka, baik kepada guru maupun teman sebayanya.
Secara umum terlihat bahwa motivasi belajar siswa
kurang sehingga aktifitas siswa dalam pembelajaran belum berkembang secara
optimal. Salah satu faktor penyebabnya adalah berasal dari dalam diri siswa
sendiri, siswa menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit dan
mengandung bahasa yang rumit. Hal ini tergambar dari sikap siswa, seperti siswa
merasa kurang percaya diri ketika menjawab ataupun mengajukan pertanyaan kepada
guru.
Selain itu, siswa juga tidak termotivasi bekerjasama
dengan teman sebayanya saat menyelesaikan soal yang diberikan guru. Hal ini terlihat
dari kurangnya aktifitas siswa berdiskusi dengan temannya untuk mengerjakan
tugas yang diberikan guru. Beberapa siswa tertentu saja yang mau mengerjakan
tugas yang diberikan guru, sedangkan siswa yang lain menunggu pekerjaan
temannya selesai agar dapat mencontoh, bahkan ada juga yang tidak mengerjakan
tugas sama sekali. Masalah ini jika dibiarkan berlanjut akan berakibat kepada
aktifitas dan hasil belajar yang diperoleh siswa.
Selain faktor dari dalam diri siswa, faktor guru dan
strategi pembelajaran yang digunakan juga berperan penting atas rendahnya
aktifitas dan respon siswa dalam mengikuti pembelajaran. Guru cenderung
memperhatikan kelas secara keseluruhan sehingga perbedaan individual ataupun
kelompok kurang mendapat perhatian. Pembelajaran hendaknya memperhatikan
perbedaan-perbedaan individual anak tersebut, sehingga pembelajaran benar-benar
dapat merubah kondisi anak dari yang tidak tahu menjadi tahu dan dari yang
berperilaku yang kurang baik menjadi baik. Faktor lain juga telihat dari perlakuan
guru yang masih menggunakan strategi pembelajaran yang cenderung sama setiap
kali pertemuan di kelas berlangsung. Hal ini menyebabkan kurangnya minat dan
respon siswa terhadap pembelajaran karena tidak adanya variasi dari cara
mengajar guru.
Konsekuensi dari pendekatan pembelajaran seperti ini
adalah terjadinya kesenjangan yang nyata antara anak yang cerdas dan anak yang
kurang cerdas dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Kondisi seperti ini
mengakibatkan tidak diperolehnya ketuntasan dalam belajar, sehingga sistem
belajar tuntas terabaikan. Salah satu indikasi dapat dilihat dari rendahnya
hasil belajar yang diperoleh siswa. Hal ini dapat dilihat dari persentase
jumlah siswa yang memperoleh hasil belajar rendah berdasarkan Ketuntasan
Kompetensi Minimal (KKM) yang telah ditetapkan oleh MAN Koto Baru Padang
Panjang pada mata pelajaran yaitu 70. Secara rinci dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 1. Persentase ketuntasan belajar mid semester ganjil siswa MAN Koto Baru Padang Panjang
pada mata pelajaran matematika TP 2012/2013
Kelas
|
Jumlah Siswa
|
Rata-rata
|
Ketuntasan
|
|
<70
|
≥70
|
|||
X1
|
34 orang
|
60,80
|
58,13%
|
41,17%
|
X2
|
33 orang
|
64,60
|
48,49%
|
51,51%
|
X3
|
35 orang
|
65,09
|
60,00%
|
40,00%
|
X4
|
34 orang
|
61,80
|
64,71%
|
35,29%
|
X5
|
28 orang
|
62,28
|
60,72%
|
39,28%
|
X6
|
38 orang
|
63,28
|
60,53%
|
39,47%
|
X7
|
33 orang
|
60,24
|
72,73%
|
27,27%
|
(Sumber: Guru Bidang Studi Matematika Kelas X MAN Koto Baru Padang
Panjang)
Untuk mengatasi masalah di atas perlu diadakan upaya
pembaharuan dalam pembelajaran matematika, pembelajaran yang dilaksanakan harus
dapat menarik siswa untuk aktif dan terlibat secara mental sehingga minat dan
respon siswa terhadap pembelajaran menjadi lebih baik. Melalui upaya tersebut,
peneliti berharap pembelajaran matematika dapat membuat perubahan pada diri
siswa. Perubahan yang diharapkan adalah siswa lebih aktif dalam pembelajaran,
meningkatkan respon dan hasil belajar siswa, dan siswa mampu membagi
pengetahuan yang dimilikinya kepada orang lain. Jika siswa tersebut mampu
membagi pengetahuan matematika yang dimilikinya kepada orang lain, maka siswa
tersebut dapat menolong dirinya sendiri dan orang lain untuk memecahkan masalah
matematika.
Salah satu model
pembelajaran yang sesuai dengan penjelasan diatas adalah model pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI). Model
pembelajaran kooperatif tipe Teams
Assited Individualization (TAI) dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini
mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individu.
Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar secara individu. Dalam
tipe Teams Assited Individualization
(TAI) ini siswa ditempatkan pada kelompok – kelompok kecil ( 4 sampai 5 siswa)
yang heterogen untuk menyelesaikan tugas
kelompok yang sudah disiapkan oleh guru. Pemberian tugas kepada kelompok dapat
berupa modul atau Lembar Kerja Siswa (LKS). Selanjutnya diikuti pemberian
bantuan secara individu bagi siswa yang memerlukannya. Keheterogenen kelompok
dapat mencakup jenis kelamin, ras, agama (kalau mungkin), tingkat kemampuan ( rendah, sedang dan
tinggi) dan sebagainya. Setelah itu guru memberikan tes formatif sesuai dengan
kompetensi yang ditentukan, kemudian pemberian penghargaan bagi kelompok yang
aktif dan rata – rata nilai anggotanya yang tinggi.
Peneliti berharap model pembelajaran kooperatif tipe Teams
Assited Individualization (TAI) dapat memberikan alternatif solusi
atas masalah yang ada di MAN Koto Baru Padang Panjang dalam meningkatkan aktifitas
dan hasil belajar siswa.
Untuk itu peneliti menetapkan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI)
dalam sebuah penelitian yang berjudul “Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams
Assited Individualization (TAI) Pada Mata Pelajaran Matematika di
Kelas X MAN Koto Baru Padang Panjang Tahun Pelajaran”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Pembelajaran di kelas masih terpusat pada guru.
2.
Aktifitas siswa dalam pembelajaran belum
berkembang secara optimal yang tergambar pada aktifitas siswa yang masih
monoton.
3.
Guru masih menggunakan strategi pembelajaran
yang cenderung sama pada setiap kali pertemuan sehingga menyebabkan kurangnya
minat dan respon siswa terhadap pembelajaran.
4.
Hasil belajar matematika siswa masih rendah
dengan indikasi banyaknya siswa yang belum mencapai Ketuntasan Kompetensi
Minimal (KKM) yang telah ditetapkan sekolah.
5.
Guru masih cenderung memperhatikan kelas secara
keseluruhan sehingga perbedaan individual kurang mendapat perhatian.
C. Batasan Masalah
Karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki, maka
masalah-masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya difokuskan pada aktifitas, respon, dan hasil
belajar siswa terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI)
pada mata pelajaran matematika di kelas X MAN Koto Baru Padang Panjang tahun
pelajaran 2012/2013.
D.
Rumusan
Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus, maka penulis
membatasi masalah yang akan diteliti yaitu:
1.
Aktifitas
siswa selama mengikuti pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Teams Assited
Individualization (TAI) pada kelas X di MAN Koto Baru Padang
Panjang
2.
Aktivitas
guru dalam melaksanakan
pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI) pada
kelas X di MAN Koto Baru Padang Panjang
3.
Respon
siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Teams Assited Individualization
(TAI)
pada kelas X di MAN Koto Baru Padang Panjang
4.
Hasil
belajar matematika siswa dengan pembelajaran menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Teams Assited
Individualization (TAI) pada kelas X di MAN Koto Baru Padang
Panjang
E.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
batasan masalah yang akan diteliti, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana aktifitas siswa
dalam mengikuti pembelajaran matematika
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI) pada kelas X di MAN
Koto Baru Padang Panjang?
2.
Bagaimana aktivitas
guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI) pada
kelas X di MAN Koto Baru Padang Panjang?
3.
Bagaimana
respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Teams
Assited Individualization (TAI) pada kelas X di MAN Koto Baru
Padang Panjang?
4.
Apakah
hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Team Assited Individualization lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada kelas X di MAN Koto Baru
Padang Panjang?
F. Defenisi Operasional
1. Pembelajaran
kooperatif
Pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim
kecil yang heterogen dengan anggota setiap kelompok berjumlah empat hingga lima
orang. Sehingga setiap individu akan saling membantu dan memberikan kontribusi
demi keberhasilan kelompok.
2.
Pembelajaran
Kooperatif Tipe Teams Assited
Individualization (TAI)
Pembelajan kooperatif tipe Teams
Assited Individualization (TAI) adalah bantuan individual dalam kelompok
(BidaK) dengan karakteristik bahwa tanggung jawab belajar adalah pada siswa
3. Aktifitas
siswa
Aktifitas
siswa merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa selama mengikuti
kegiatan pembelajaran sehingga menimbulkan perubahan perilaku belajar pada
diri siswa. Aktifitas siswa diamati pada saat proses pembelajaran kooperatif tipe Teams
Assited Individualization (TAI) berlangsung.
4. Pengelolaan
pembelajaran
Pengelolaan
pembelajaran merupakan suatu usaha menyiapkan kondisi yang optimal agar proses
atau kegiatan pembelajaran dapat berlangsung secara lancar. Pengelolaan
pembelajaran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pengelolaan
pembelajaran oleh guru dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Teams
Assited Individualization (TAI).
5. Hasil
belajar siswa
Hasil
belajar adalah sesuatu yang diperoleh siswa setelah melakukan kegiatan
pembelajaran dan merupakan gambaran tingkat penguasaan siswa terhadap apa yang
telah dipelajari. Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil
belajar pada ranah kognitif. Hasil belajar pada ranah kognitif diperoleh
setelah siswa melaksanakan tes hasil belajar pada pembelajaran kooperatif tipe Teams
Assited Individualization (TAI).
6. Respon
siswa
Respon
siswa merupakan tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan sebelumnya. Respon siswa dapat berupa respon positif maupun respon
negatif. Respon yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah respon siswa
terhadap pelaksanaan pembelajaran kooperatif
tipe Teams Assited Individualization
(TAI)
dengan menggunakan instrument berupa angket.
7. Pembelajaran
konvensional
Pembelajaran
konvensional merupakan pembelajaran yang biasa diterapkan di lapangan yaitu
pembelajaran ekspositori. Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru
kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi
pelajaran secara optimal. Dalam pembelajaran ini materi pelajaran disampaikan
langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu.
G. Kegunaan Penelitian
1. Bagi
siswa.
a. Dengan
diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Team Assited Individualization ini diharapkan dapat meningkatkan
aktifitas, pengelolaan pembelajaran, hasil belajar, dan respon siswa terhadap
pembelajaran matematika.
b. Membantu
siswa yang mengalami kesulitan untuk dapat bertukar pengetahuan dengan siswa
lain sehingga meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi suatu pelajaran.
2. Bagi
Guru.
Guru
dapat mengetahui variasi strategi pembelajaran yang dapat digunakan sebagai
salah satu usaha untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
3. Bagi
Peneliti.
Mendapat
pengalaman dan bekal bagi penulis sebagai calon guru matematika di masa yang
akan datang. khususnya dalam penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assited Individualization.
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
A. Belajar dan Pembelajaran
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah,
kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa
berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada
bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik, yang
tentunya tidak terlepas dari peran seorang guru sebagai pendidik.
Morgan menjelaskan bahwa: “Belajar adalah
perubahan perilaku yang bersifat permanen sebagai hasil dari pengalaman”.[7]
Sedangkan menurut Slameto, “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.[8]
Selanjutnya Muhibbin Syah juga menyebutkan bahwa: “Belajar dapat dipahami
sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap
sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses
kognitif”.[9]
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang dialami peserta didik
akibat berinteraksi dengan lingkungannya, belajar lebih mengutamakan proses
bukan hasil. Seseorang yang melakukan proses belajar akan mendapatkan suatu hal
berupa perubahan tingkah laku sesuai dengan proses belajar yang ia lalui dan
hasil yang ia harapkan.
Proses belajar yang dilalui siswa dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1.
Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni
keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa.
2.
Faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa), yakni kondisi
lingkungan di sekitar siswa.
3.
Faktor pendekatan belajar (approach
to learning), yakni jenis upaya belajar yang meliputi strategi dan strategi
yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi
pelajaran. [10]
Pendekatan belajar merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa, oleh karena itu guru
harus melaksanakan kegiatan pengajaran sebaik mungkin sehubungan dengan
tugasnya sebagai pendidik. Dalam teori Gestalt, John Dewey mengemukakan bahwa
pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru harus
memperhatikan hal-hal berikut ini:
a.
Penyajian konsep harus lebih
mengutamakan pengertian.
b.
Pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa.
c.
Mengatur suasana kelas agar siswa
siap belajar. [11]
Hal terpenting dalam pembelajaran di sekolah
adalah belajar, karena dengan belajar, pembelajaran akan lebih efektif. Dan
sebagai guru pun, dalam perencanaan pengajaran ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, salah satu yang terpenting adalah memperhatikan karakteristik
siswa yang diajar, dengan begitu maka seorang guru akan mengetahui masalah
belajar yang dihadapi siswa. Jadi, guru akan merencanakan pengajaran sesuai
keadaan siswa, selanjutnya guru akan melaksanakan proses dan evaluasi
pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Dengan demikian, maka
hasil belajar yang efektif dan efesien akan tercapai.
Allah SWT juga menjelaskan tentang belajar dan
ilmu pengetahuan dalam firman-Nya surat Al-Mujaadilah ayat 15 yang berbunyi:
Æìsùöt…… ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya: ”……Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujaadilah: 15)[12]
Orang yang menuntut ilmu memiliki kedudukan yang
mulia di hadapan Allah SWT, Allah memberikan keutamaan-keutamaan kepada orang
yang berilmu sebagaimana Dia memberikan keutamaan kepada orang yang beriman.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar dan menuntut ilmu merupakan
kegiatan yang sangat dianjurkan bahkan diwajibkan kepada setiap orang dalam
rangka menuju perubahan kearah yang lebih baik.
Setiap individu, bila melaksanakan kegiatan
belajar akan mengalami perubahan tingkah laku yang positif. Adapun tingkah laku
yang dimiliki oleh orang yang belajar adalah:
a.
Perubahan terjadi secara sadar.
b.
Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
c.
Perubahan bersifat menetap.
d.
Perubahan dalam belajar bersifat aktif dan pasif.
e.
Perubahan terjadi secara terarah dan bertujuan.
f.
Perubahan dalam belajar mencakup
seluruh aspek. [13]
Untuk mencapai tujuan tersebut tidak lepas dari
tugas merancang pembelajaran. Suherman mendefenisikan pembelajaran sebagai
berikut: “Pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan
guru dan siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang
akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan”.[14]
Sedangkan Suprijono mengungkapkan bahwa:
“Pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Pada
pembelajaran guru mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir
lingkungan terjadinya pembelajaran. Guru mengajar dalam perspektif pembelajaran
adalah guru menyediakan fasilitas belajar bagi peserta didiknya untuk
mempelajarinya. Jadi, subjek pembelajaran adalah peserta didik. Pembelajaran berpusat
pada peserta didik. Pembelajaran adalah dialog interaktif. Pembelajaran
merupakan proses organik dan konstruktif”.[15]
Dalam pembelajaran, siswa dipandang sebagai
pusat pembelajaran, guru bertindak sebagai fasilitator yang memfasilitasi
kegiatan belajar siswa. Oleh karena itu guru harus dapat mengusahakan sistem
pembelajaran sedemikian rupa, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga
evaluasi kegiatan pembelajaran, sehingga siswa dapat menguasai pembelajaran
secara optimal dan mencapai hasil yang optimal pula.
B.
Pembelajaran Matematika
Berdasarkan etimologis (Ela Tinggih, 1972:5), perkataan matematika berarti “ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar”[16]. Hal ini dimaksudkan bukan berarti ilmu matematika diperoleh dengan bernalar akan tetapi matematika
lebih menekankan aktifitas dalam dunia rasio (penalaran) sedangkan ilmu lain lebih menekankan pada
hasil observasi atau eksperimen disamping penalaran. Sementara itu, James dan James (1976) dalam Suherman
menyatakan bahwa: “Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk susunan, besaran dan
konsep-konsep yang berhubungan dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang
terbagi menjadi tiga bidang aljabar, analisis dan geometri”.[17]
Pada pembelajaran khususnya pembelajaran matematika, hendaknya siswa
dapat terlibat aktif didalamnya, sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai. Menurut Cobb dalam Suherman,
“belajar matematika bukanlah suatu proses (pengepakan) pengetahuan secara
hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktifitas, dimana kegiatan ini diinterprestasikan
secara luas termasuk aktifitas dan berfikir konseptual”.[18]
Jadi pembelajaran matematika adalah suatu pembelajaran yang sengaja dirancang
dengan tujuan untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan siswa melaksanakan
kegiatan belajar matematika dimana siswa diberikan peluang untuk berusaha dan
memahami dalam mencari pengalaman tentang matematika secara mendalam dan
terstruktur.
C.
Pembelajaran Kooperatif
Eggen dan Kauchak dalam Widyantini menjelaskan
bahwa model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi
mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu pembelajaran[19].
Oleh karena itu, penggunaan model pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan siswa selama belajar.
Ada beberapa defenisi atau pengertian dari
pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut :
a.
Menurut Davidson dan Kroll dalam Nur
Asma menjelaskan defenisi pembelajarn kooperatif adalah kegiatan yang
berlangsung di lingkungn belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi
ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada
dalam tugas mereka[20].
b.
Menurut Cooper dan Heinich
menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif sebagai metode pembelajaran yang
melibatkan kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan siswa bekerjasama untuk
mencapai tujuan-tujuan dan tugas-tugas akademik bersama, sambil bekerja sama
belajar keterampilan-keterampilan kolabortif dan sosial[21].
c.
Dalam Rachmadi Widdiharto,
Posamentier mendefenisikan bahwa cooperative learning atau belajar secara
kooperatif penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan mereka
sebuah atau beberapa tugas[22].
Berdasarkan beberapa
defenisi di atas, dapat dikatakan pembelajaran koopertif merupakan pembelajaran
yang membawa siswa untuk bekerja sama dalam belajar kelompok, dan mereka
bertanggung jawab atas kegiatan belajar anggota kelompoknya, sehingga seluruh
siswa dapat memahami materi pelajaran dengan baik.
Nur dalam Widyantini menjelaskan prinsip dasar
dalam pembelajaran kooperatif
sebagai berikut:
1.
Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya.
2.
Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua
anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama.
3.
Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung
jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
4.
Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.
5.
Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan
membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
6.
Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggungjawabkan
secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif[23].
Sedangkan menurut Nur Asma, dalam pelaksanaan
pembelajaran kooperatif setidaknya terdapat lima prinsip yang dianut, yaitu
prinsip belajar siswa aktif (student active learning), belajar kerjasama
(cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, mengajar reaktif (reactive
teaching), dan pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning)[24].
Menurut Nur dalam Widyantini, ciri-ciri
pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
A. Siswa dalam
kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar
yang akan dicapai.
B. Kelompok
dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat
kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari
ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender.
C. Penghargaan
lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu[25].
Berdasarkan prinsip dan ciri-ciri dari
pembelajaran kooperatif di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif dapat mengaktifkan siswa secara langsung dalam kegiatan
pembelajaran, sehingga peranan guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran.
Selain itu, dengan pembelajaran kooperatif, siswa bisa berbagi pengetahuan yang
mereka miliki dengan teman mereka.
Slavin dalam Wina Sanjaya mengemukakan dua
alasan yaitu sebagai berikut:
a. Beberapa
hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan
hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain,
serta dapat meningkatkan harga diri.
b. Pembelajaran
kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir,
memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan[26].
Dari dua alasan di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif dapat memberikan pengaruh positif kepada siswa yaitu
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Dalam pembentukan kelompok belajar pada
pembelajaran kooperatif haruslah heterogen, dengan demikian siswa dapat saling
bertukar pikirian atau menuangkan ide-ide mereka kepada teman-teman mereka dan
meraka dapat saling menghargai antar sesama. Hal ini sesuai dengan pendapat Nur
Asma yang menjelaskan bahwa mencampurkan siswa berdasarkan prestasi belajar
didorong untuk mempromosikan sistem tutur teman sebaya, mengelompokkan siswa
yang berprestasi rendah dengan model kebiasaan yang baik, dan memperbaiki hubungan
antar para siswa[27]. Berdasarkan pendapat Anita Lie, dalam
kemampuan akademis kelompok pembelajaran cooperative learning biasanya terdiri
dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan
sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang. Berikut ini
adalah cara pengelompokan heterogenitas berdasarkan kemampuan akademik[28]:
Langkah
I
mengurutkan semua siswa
berdasarkan kemampuan akademis
|
Langkah
II
membentuk kelompok I
|
Langkah
III
membentuk kelompok selanjutnya
|
1.
Ani
2.
David
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Yusuf
12.
Citra
13.
Rini
14.
Basuki
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Slamet
25.
Dian
|
1.
Ani
2.
David
3.
4.
5.
6.
Citra Ani
7.
8.
9.
Dian Rini
10.
11.
Yusuf
12.
Citra
13.
Rini
14.
Basuki
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Slamet
25.
Dian
|
1.
Ani
2.
David
3.
4.
5.
6.
Yusuf David
7.
8.
9.
Slamet Basuki
10.
11.
Yusuf
12.
Citra
13.
Rini
14.
Basuki
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Slamet
25.
Dian
|
Gambar 1. Prosedur
Pengelompokan Heterogenitas Akademis
D.
Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assited Individualization (TAI)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah bantuan individual
dalam kelompok (BidaK) dengan karektiristik bahwa tanggung jawab belajar adalah
pada siswa (Driver, 1980). Oleh
karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari
guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-instruksi.[29]
Teams Assited
Individualization (TAI) adalah salah satu
motode pembelajaran yang bertujuan untuk mengoptimalkan aktivitas dan prestasi belajar siswa dengan cara berkelompok dan tanggungjawab
berada pada siswa itu sendiri.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah:[30]
1. Buat
kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupa modul.
2. Siswa
belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai, saling tukar jawaban, saling
berbagi sehingga terjadi diskusi.
3. Penghargaan
kelompok dan refleksi serta tes formatif.
TAI termasuk pembelajaran kooperatif . dalam model pembelajaran
TAI, siswa ditempatkan dalam beberapa kelompok kecil (4 – 5 siswa) yang
heterogen kemudian dilanjutkan pada pemberian bantuan secara individu bagi
siswa yang memerlukannya. Sebelum dibentuk kelompok siswa diajarkan bagai mana
bekerjasama dalam satu kelompok. Siswa diajarkan menjadi pendengar yang baik,
dapat memberikan penjelasan kepada teman sekelompok, berdiskusi, mendorong
teman lain untuk bekerjasama, menghargai pendapat teman lain, dan sebagainya.
Masing-masing anggota kelompok memiliki tugas yang sama. Karena dalam
kooperatif keberhasilan kelompok sangat diperhatikan maka siswa yng pandai ikut
bertanggung jawab membantu temanya yang lemah didalam kelompoknya. Dengan
demikian siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya,
sedangkan siswa yang lemah akan terbantu dalam memahami permasalahan yang
diselesaikan dalam kelompok tersebut.
Model pembelajaran TAI mmemiliki delapan komponen,yaitu:
1.
Teams, pembentukan kelompok yang heterogen yang terdiri dari 4-5
orang siswa.
2.
Placement test, yakni pemberian pretest kepada siswa, atau melihat
nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu.
3.
Student kreative, melakukan tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan
situasi dimana keberhasilan individu ditentukan oleh keberhasilan kelompok.
4.
Team study, tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh
kelompok dan guru memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang
membutuhkannya.
5.
Team scores and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap
hasil kerja kelompok dan memeberi kriteria penghargaan.
6.
Teaching group, yakni pemberian materi secara singkat dari guru
menjelang pemberian kelompok.
7.
Facts test, yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang
diperoleh siswa.
8.
Whole class units, yaitu pemberian materi oleh guru kembali
diakhir pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
Dengan mengadopsi model pembelajaran TAI dalam
pembelajaran Matematika, maka seorang guru mata pelajaran matematika dapat
menempuh langkah -
langkah pembelajaran sebagai berikut[31]:
a.
Guru memberikan
tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individu yang
sudah dipersiapkan oleh guru.
b.
Guru memberikan
kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor
awal.
c.
Guru mementuk
beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan
yang berbeda – beda baik tingkat kemampuan (Tinggi, Sedang dan rendah) jika
mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta
kesetaraan jender.
d.
Hasil belajar
siswa secara individual didiskusikan secara kelompok. Dalam diskusi kelompok,
setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu sama lain.
e.
Guru
memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberi penegasan
pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f.
Guru memerikan
kuis kepada siswa secara individu.
g.
Guru memberi
penghargaan kepada kelompok berdasarkan hasil belajar individual dari skor
dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
Kelebihan
model pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah:
a.
Siswa yang lemah dapat terbantu dalam
menyelesaikan masalahnya.
b.
Siswa yang pandai dapat
mengembangkan kemampuan dan keterampilannya.
c.
Adanya tanggung jawa anggota
kelompok dalam menyelesaikan permasalahannya.
d.
Siswa diajarkan bagaimana
bekerjasama dalam suatu kelompok.
e.
Model pemelajaran ini mampu
berdaptasi dalam pembelajaran terhadap perbedaan individual berkaiatan dengan
kemampuan prestasi siswa, serta dapat memotivasi siswa sehingga keaktifan dan
hasil belajar siswa bisa ditingkatkan
Kelemahan model pemelajaran kooperatif tipe TAI:
a.
Apabila guru tidak mampu mengendalikan kelas maka akan mengalami keributan
dalam kelas.
b.
Siswa yang lemah dimungkinkan
bergantung pada siswa yang pandai.
E.
Aktifitas Siswa
Dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa
aktivitas, kegiatan belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik.
Sadirman berpendapat bahwa ”belajar
adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada
belajar kalau tidak ada aktivitas”[32].
Aktivitas siswa dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat
pen-ting. Hal ini sesuai dengan pendapat Sadirman bahwa: “Dalam belajar sangat diperlukan adanya
aktivitas, tanpa aktivitas belajar itu tidak mungkin akan berlangsung dengan
baik. Aktivitas dalam proses belajar mengajar merupakan rangkaian
kegiatan yang meliputi keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran, bertanya hal
yang belum jelas, mencatat, mendengar, berfikir, membaca, dan segala kegiatan
yang dilakukan yang dapat menunjang prestasi belajar”[33].
Dalam pembelajaran perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa
dalam pengorganisasian pengetahuan, apakah mereka aktif atau pasif.
Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa selama mengikuti
pembelajaran. Berkenaan dengan hal tersebut, Paul B. Dierich dalam
Sardiman menggolongkan aktivitas siswa dalam pembelajaran antara lain sebagai
berikut:
a. Visual
activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, membaca, memperhatikan
gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
b. Oral
activities, seperti : menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
c. Listening activities,sebagai
contoh mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.
d. Writing activities,seperti
misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.
e. Drawing activities,misalnya
menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
f. Motor activities,yang
termasuk di dalamnya antara lain melakukan percobaan, membuat konstruksi, model
mereparasi, bermain, berkebun, beternak.
g. Mental activities,
sebagai contoh misalnya menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis,
melihat hubungan, mengambil keputusan.
h. Emotional activities,seperti
menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang,
gugup[34].
F.
Pengelolaan Kelas
Dalam proses pembelajaran di kelas yang sangat urgen untuk
dilakukan oleh seorang guru adalah mengupayakan atau menciptakan kondisi
pembelajaran yang baik. Kondisi belajar yang baik diharapkan proses
pembelajaran akan berlangsung dengan baik pula. Oleh karena itu guru hendaknya
mampu melaksanakan pengelolaan pembelajaran dengan baik.
Beberapa pengertian pengelolaan kelas yang telah dikemukakan di
atas, dapatlah memberi suatu gambaran serta pemahaman yang jelas bahwa
pengelolaan kelas merupakan suatu usaha menyiapkan kondisi yang optimal agar
proses atau kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung secara lancar.
Pengelolaan kelas merupakan masalah yang amat kompleks dan seorang guru
menggunakannya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas sedemikian
rupa sehingga anak didik dapat mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan
secara efektif dan efisien.
Menurut Ahmad, adapun tujuan pengelolaan kelas adalah sebagai
berikut:
a.
Mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan
belajar maupun sebagai kelompok belajar yang memungkinkan siswa untuk
mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin.
b.
Menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya
interaksi belajar mengajar.
c.
Menyediakan dan mengatur fasilitas serta perabot belajar yang
mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesuai dengan lingkungan sosial,
emosional, dan intelektual siswa dalam kelas.
d.
Membina dan membimbing sesuai dengan
latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individunya.[35]
latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individunya.[35]
Sedangkan menurut Sudirman, tujuan pengelolaan kelas adalah
penyediaan fasilitas bagi macam-macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan
sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas. Fasilitas yang disediakan itu
memungkinkan siswa belajar dan bekerja. Terciptanya suasana sosial yang
memberikan kepuasan, suasana disiplin, perkembangan intelektual, emosional, dan
sikap serta apresiasi pada siswa[36].
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pengelolaan kelas
adalah menyediakan, menciptakan dan memelihara kondisi yang optimal di dalam
kelas sehingga siswa dapat belajar dan bekerja dengan baik. Selain itu juga
guru dapat mengembangkan dan menggunakan alat bantu belajar yang digunakan
dalam proses belajar mengajar sehingga dapat membantu siswa dalam mencapai
hasil belajar yang diinginkan.
G.
Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan sesuatu yang diperoleh siswa setelah
melakukan kegiatan belajar, baik dalam bentuk prestasi, maupun perubahan
tingkah laku dan sikap siswa yang telah mengalami pembelajaran. Hasil belajar
dapat diungkapkan dalam bentuk angka atau huruf yang dapat menggambarkan
tingkat penguasaan siswa terhadap apa yang telah dipelajari. Seseorang
dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah terjadi perubahan tingkah
laku kearah yang lebih baik dari sebelumnya karena latihan dan pengalaman.
Hasil belajar merupakan suatu indikator untuk mengetahui tingkat keberhasilan
siswa dalam menguasai pelajaran. Menurut Oemar Hamalik ada 6 tujuan dari
evaluasi hasil belajar:
1) Memberikan
informasi tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajar
melalui berbagai kegiatan belajar.
2) Memberikan
informasi yang dapat digunakan untuk membina kegiatan-kegiatan belajar siswa
lebih lanjut, baik keseluruhan kelas maupun masing-masing individu.
3) Memberikan
informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa, menetapkan
kesulitan-kesulitannya dan menyarankan kegiatan-kegiatan remedial (perbaikan).
4) Memberikan
informasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mendorong motivasi belajar
siswa dengan cara mengenal kemajuannya sendiri dan merangsangnya untuk melakukan
upaya perbaikan.
5) Memberikan
informasi tentang semua aspek tingkah laku siswa, sehingga guru dapat membantu
perkembangannya menjadi warga masyarakat dan pribadi yang berkualitas.
6) Memberikan
informasi yang tepat untuk membimbing siswa memilih sekolah atau jabatan yang
sesuai dengan kecakapan, minat dan bakatnya[37].
Hasil belajar siswa dapat diketahui melalui proses evaluasi atau
tes, kemudian hasil tes dinilai oleh guru. Menurut Kunandar penilaian dalam
pembelajaran mencakup 3 aspek :
1) Ranah
kognitif, berkenaan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan
menghafal, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi.
2) Ranah afektif,
mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.
3) Ranah
psikomotor, mencakup imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi[38].
Menurut taksonomi Bloom dalam Erman Suherman hasil belajar
kognitif merupakan perubahan-perubahan mental yang dapat terukur dan teramati.
Perubahan mental tersebut terdiri dari pengetahuan (C1), pemahaman
(C2), penerapan (C3), analisis (C4), Sintesis
(C5), dan evaluasi (C6)[39].
Kunandar menjelaskan penilaian memiliki beberapa fungsi, yaitu
sebagai berikut:
1) Formatif,
yaitu merupakan umpan balik bagi guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses
belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi siswa yang belum
menguasai sepenuhnya materi yang dipelajari.
2) Sumatif,
yaitu dapat mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran,
menentukan angka nilai sebagai bahan keputusan kenaikan kelas dan laporan
perkembangan belajar siswa, serta dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
3) Diagnostik,
yaitu dapat mengetahui latar belakang siswa (psikologis, fisik, dan lingkungan)
yang mengalami kesulitan belajar.
4) Seleksi dan
penempatan, yaitu hasil penilaian dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi dan
menempatkan siswa sesuai dengan minat dan kemampuannya[40].
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar sangat penting sekali dalam
proses pembelajaran, dengan hasil belajar guru dapat mengetahui kemampuan siswa
dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan sebelumnya..
H.
Respon Siswa
Respon adalah istilah yang digunakan oleh psikologi untuk menamakan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera. Respon biasanya diwujudkan dalam
bentuk perilaku yang dimunculkan setelah dilakukan
perangsangan. Teori Behaviorisme menggunakan istilah
respons yang dipasangkan dengan rangsang dalam menjelaskan proses terbentuknya perilaku. Respon adalah perilaku yang muncul
dikarenakan adanya rangsang dari lingkungan. Jika rangsang dan respons
dipasangkan atau dikondisikan maka akan
membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan[41].
Berdasarkan defenisi di
atas, maka respon siswa adalah perilaku yang muncul pada diri siswa dikarenakan
adanya rangsangan yang diberikan oleh guru, baik berupa metode pembelajaran,
cara guru menyampaikan materi pelajaran, dan lain sebagainya yang berkaitan
dengan pembelajaran.
I.
Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan
pembelajaran yang dilakukan secara klasikal dengan strategi ekspositori dan pemberian
tugas secara individu yang menggunakan komunikasi satu arah. Dapat dikatakan
bahwa pembelajaran konvensional lebih menitik beratkan pada keaktifan guru.
Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pembelajaran yang biasa dilaksanakan dengan strategi ekspositori.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Eman
Suherman:
“Pada strategi ekspositori dominasi guru
banyak berkurang, karena tidak terus menerus bicara, ia berbicara pada awal
pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal pada waktu-waktu yang diperlukan
saja. Siswa tidak hanya mendengar dan membuat catatan tetapi juga membuat soal
latihan dan bertanya kalau tidak
mengerti, guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara individu atau kelompok”.[42]
Untuk kelas kontrol, kegiatan pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh
guru yaitu dengan strategi ekspositori, dimana guru menyampaikan materi dan
menyelesaikan contoh soal, dan siswa menerima apa yang disampaikan oleh guru,
setelah itu siswa diberikan soal latihan yang diselesaikan secara individu.
Pada akhir pembelajaran, guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran.
Menurut Nasution, pembelajaran konvensional memiliki ciri–ciri
sebagai berikut:
a. Tujuan tidak dirumuskan secara spesifik kedalam kelakuan yang
dapat diukur
b. Bahan pelajaran diberikan kepada kelompok atau kelas secara
keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individu
c. Bahan pelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis,
dan media lain menurut pertimbangan guru
d. Berorientasi pada kegiatan guru dan mengutamakan kegiatan belajar
e. Siswa kebanyakan bersifat pasif mendengar uraian guru
f. Semua siswa harus belajar menurut kecepatan guru mengajar
g. Penguatan umumnya diberikan setelah dilakukan ulangan atau ujian
h. Keberhasilan belajar umumnya dinilai guru secara subjektif
i. Pengajar umumnya sebagai penyebab dan penyalur informasi utama,
dan
j. Siswa biasanya mengikuti beberapa tes atau ulangan mengenai bahan
yang dipelajari dan berdasarkan angka hasil tes atau ulangan, itulah nilai
rapor yang diisikan.[43]
Dari uraian di atas terlihat bahwa pada pembelajaran konvensional
siswa lebih banyak bersifat pasif mendengarkan uraian dari guru yang diberikan
dalam bentuk ceramah, hal ini dapat menyebabkan belajar siswa menjadi belajar
menghafal sehingga pengetahuan yang diperoleh lebih cepat terlupakan. Dalam pembelajaran ini guru tidak dapat
memperhatikan siswa secara individu karena materi pelajaran diberikan kepada
kelas secara keseluruhan, sehingga keaktifan siswa belum terlihat dan guru juga
belum bisa membedakan kemampuan belajar setiap indivu, baik perbedaan
pengetahuan, minat, dan bakat, serta perbedaan gaya belajar.
Pembelajaran konvensional biasanya diawali dengan penjelasan tentang materi atau konsep
matematika oleh guru, dilanjutkan dengan memberikan contoh soal, contoh soal
tersebut dibahas oleh guru dengan melibatkan siswa dalam menyelesaikan,
kemudian memberikan siswa soal-soal latihan, dan diakhiri dengan pemberian
tugas kepada siswa. Pembelajaran
konvensional yang dimaksudkan disini adalah pembelajaran yang biasa dilakukan
guru di kelas yaitu melalui strategi ekspositori.
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran
strategi ekspositori adalah sebagai berikut:
1.
Persiapan (preparation)
Tahap persiapan berkaitan dengan
mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. Tujuan yang ingin dicapai dalam
melakukan persiapan adalah:
a.
Mengajak siswa
keluar dari kondisi mental yang pasif.
b.
Membangkitkan
motivasi dan minat siswa untuk belajar.
c.
Merangsang dan
menggugah rasa ingin tahu siswa.
d.
Menciptakan
suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.
2.
Penyajian (presentation)
Langkah penyajian adalah langkah penyampaian
materi pembelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Oleh sebab
itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
a.
Penggunaan
bahasa.
b.
Intonasi suara.
c.
Menjaga kontak
mata dengan siswa.
3.
Menghubungkan (correlation)
Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan
materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang
memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitan dalam struktur pengetahuan yang
telah dimilikinya.
4.
Menyimpulkan (Generalization)
Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami
inti dari materi pelajaran yang telah disajikan. Langkah menyimpulkan merupakan
langkah yang sangat penting dalam strategi ekspositori, sebab melalui langkah
menyimpulkan siswa akan dapat mengambil inti sari dari proses penyajian.
Menyimpulkan bisa dilakukan dengan tiga cara,
yaitu:
a.
Mengulang
kembali inti-inti materi yang menjadi pokok persoalan.
b.
Memberi
beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang telah disajikan.
c.
Dengan cara mapping melalui pemetaan keterkaiatan
antarmateri pokok-pokok materi.
5.
Penerapan (Aplication)
Langkah aplikasi adalah langkah unjuk
kemampuan siswa setalah mereka menyimak penjelasan guru. Teknik yang bisa
dilakukan pada penerapan ini diantaranya adalah:
a.
Membuat tugas
yang relevan dengan materi yang telah disajikan.
Kelebihan dan kekurangan pembelajaran konvensional adalah:
1.
Kelebihan pembelajaran konvensional
a.
Dapat mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran, dengan
demikian dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran
yang disajikan.
b.
Strategi pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila
materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu yang
dimiliki untuk belajar terbatas.
c.
Melalui strategi pembelajaran ekspositori selain siswa dapat
mendengar melalui penuturan tentang suatu materi pelajaran, juga sekaligus bias
melihat atau mengobservasi(melalui pelaksanaan demontrasi).
d.
Bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
2.
Kelemahan pembelajaran konvensional
a.
Strategi pembelajaran ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap
siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.
b.
strategi ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap
individu baik perbedaan kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat, dan bakat,
serta perbedaan gaya belajar.
c.
Karena strategi ini lebih banyak melalui ceramah, maka akan sulit
mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan
interpersonal, serta kemampuan berfikir kritis.
d.
Keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori sangat tergantung
kepada apa yang dimiliki guru, seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya
dir,semangat, antusiasme, motivasi dan berbagai kemampuan seperti kemampuan
bertutur ( berkomunikasi), dan kemampuan mengelola kelas. Tanpa itu sudah dapat
dipastikan proses pembelajaran tidak mungkin berhasil.
e.
Oleh karena gaya berkomunikasi strategi pembelajaran lebih banyak
terjadi satu arah, maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa akan materi
pelajaran akan sangat terbatas pula. Disamping itu komunikasi satu arah bias
mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan terbatas pada apa yang
diberikan guru. [45]
J.
Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang dan kajian teori yang telah diuraikan
sebelumnya untuk meningkatkan partisipasi siswa sesuai dengan tuntutan
kurikulum dan meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar, perlu digunakan
metode pembelajaran yang melibatkan siswa aktif dalam proses pembelajaran.
Salah satunya dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI). . Lebih jelasnya
dapat dilihat pada skema berikut:
Gambar
2. Kerangka Konseptual
K. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori diatas, hipotesis yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran
kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI). lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional pada mata pelajaran matematika di kelas X MAN Koto Baru Padang
Panjang tahun pelajaran 2012 / 2013
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalahan dan tujuan penelitian, maka jenis
penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah The Static Group Comparison: Randomized Control-Group Only
Design. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen adalah penerapan
pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI). Sedangkan pada
kelas kontrol tidak menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI). Rancangan penelitian The Static Group
Comparison: Randomized Control-Group Only Design dapat digambarkan pada
tabel 2.
Tabel 2. Rancangan penelitian The Static Group Comparison:
Randomized Control-Group Only Design[46].
Kelas
|
Treatment
|
Posttest
|
Eksperimen
|
X1
|
T2
|
Kontrol
|
X2
|
T2
|
Keterangan:
X1
=
|
Perlakuan
yang diberikan pada kelas eksperimen, yaitu kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI).
|
X2 =
|
Perlakuan
yang diberikan pada kelas kontrol, yaitu kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
pembelajaran konvensional.
|
T2 =
|
Tes
akhir yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol di akhir
penelitian
|
B.
Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi adalah seluruh individu yang dimaksudkan
untuk diteliti.[47] Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas X MAN Koto Baru Padang Panjang tahun pelajaran 2012/2013.
Distribusi siswa setiap kelas dapat dilihat dalam table 4 berikut:
Tabel 3.
Distribusi siswa kelas X
MAN Koto Baru Padang Panjang tahun
pelajaran 2012/2013.
Kelas
|
Jumlah Siswa
|
X1
|
34
orang
|
X2
|
33
orang
|
X3
|
35
orang
|
X4
|
34
orang
|
X5
|
29
orang
|
X6
|
38
orang
|
X7
|
33
orang
|
Jumlah
Total
|
237
orang
|
(Sumber: Tata Usaha MAN Koto Baru Padang Panjang )
2.
Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil
secara representatif atau mewakili populasi yang bersangkutan atau bagian kecil
yang diamati.[48]
Dalam penelitian ini mengingat jumlah populasi 7
kelas maka hanya dibutuhkan 2 kelas sebagai sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Agar sampel yang
diambil representatif artinya benar-benar mencerminkan populasi, maka
pengambilan sampel dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Mengumpulkan nilai ulangan harian I semester genap matematika
siswa kelas X MAN Koto Baru Padang Panjang yang diperoleh dari guru mata
pelajaran matematika.
b.
Melakukan uji normalitas.
Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui data berdistribusi
normal atau tidak, sehingga langkah selanjutnya tidak menyimpang dari
kebenaran.
Hipotesis
yang diajukan:
H0
: Populasi berdistribusi normal
H1
: Populasi tidak berdistribusi normal
Adapun langkah-langkah untuk melihat populasi berdistribusi normal
atau tidak, maka digunakan uji Liliford
sebagai berikut:
1) Data x1,
x2, x3, … , xn diperoleh dan disusun dari data
yang terkecil sampai yang terbesar.
2) Data x1,
x2, x3, … , xn dijadikan bilngan baku z1,
z2, z3, … , zn dengan menggunakan rumus :
3) Dengan
penggunaan daftar distribusi normal baku dihitung peluang F(zi) = P
(z < zi).
4) Menghitung
jumlah proporsi skor baku yang lebih kecil atau sama zi yang
dinyatakan dengan S(zi) dengan menggunakan rumus:
5) Menghitung
selisih antara F(zi) dengan S(zi) kemudian tentukan harga
mutlaknya.
6) Ambil harga
mutlak yang terbesar dari harga mutlah selisih itu diberi simbol L0,
L0 = maks .
7) Kemudian
bandingkan L0 dengan nilai kritis yang diperoleh dari daftar nilai
kritis untuk uji Liliefors pada taraf α = 0,05. Kriterianya adalah terima H0
jika L0 ≤ Ltabel.[49]
c.
Melakukan uji homogenitas variansi.
Uji homogenitas tujuannya adalah untuk mengetahui apakah populasi
mempunyai variansi homogen atau tidak. Uji homogenitas dilakukan dengan uji
Barlett dengan langkah-langkah sebagai berikut:[50]
a. Membuat hipotesis, yaitu:
H0 :
populasi mempunyai variansi homogen
H1 :
populasi mempunyai variansi tidak homogen
b. Menghitung variansi masing-masing kelompok.
c. Menghitung variansi gabungan dari populasi menggunakan
rumus:
.
d. Menghitung harga satuan Barlett (B) dengan rumus:
e. Menghitung harga satuan Chi-kuadrat (X2) dengan
rumus:
f. Membandingkan dengan dengan kriteria bila
< untuk taraf α maka
terima H0 artinya populasi homogen.[51]
d.
Melakukan uji kesamaan rata-rata.
Adapun langkah-langkah dalam menguji kesamaan rata-rata
populasi adalah:[52]
a. Membuat hipotesis
H0 : µ1 = µ 2 =
µ3= µ4
H1 : Sekurang-kurangnya dua rata-rata tidak sama
b. Menentukan taraf nyata (α)
c. Menentukan wilayah kritiknya dengan menggunakan rumus f
> f α [ k – 1, N – K].
d. Menentukan
perhitungan dengan bantuan tabel.
Tabel 4. Data hasil belajar siswa kelas populasi.
|
Populasi
|
|
|||
1
|
2
|
3
|
K
|
||
X11
X12
…
X1n
|
X21
X22
…
X2n
|
X31
X32
…
X3n
|
Xk1
Xk2
…
Xkn
|
|
|
Total
|
T1
|
T2
|
T3
|
Tk
|
T…
|
Nilai
Tengah
|
X1
|
X2
|
X3
|
Xk
|
X…
|
Perhitungannya dengan menggunakan rumus :
Jumlah Kuadrat Total (JKT) :
Jumlah Kuadrat untuk Nilai Tengah Kolom (JKK):
Jumlah Kuadrat Galat (JKG) : JKT – JKK
Masukkan data hasil perhitungan ke tabel
berikut :
Tabel 5. Analisis
Ragam Bagi Data Hasil Belajar Siswa Kelas Populasi.
Sumber Keragaman
|
Jumlah Kuadrat
(JK)
|
Derajat Bebas (dk)
|
Kuadrat Tengah
|
Fhitung
|
Nilai tengah kolom
|
JKK
|
k-1
|
|
|
Galat
|
JKG
|
N-K
|
|
|
Total
|
JKT
|
N-K
|
|
|
e.
Keputusannya.
Ho diterima jika f < f α [ k – 1, N – K]
Ho ditolak jika
f >f α [ k – 1, N – K].
Analisis variansi dilakukan dengan cara teknik ANAVA satu arah
dengan f < f α [ k – 1, N – K].
e.
Pengambilan Sampel
Apabila dari perhitungan di atas diperoleh populasi berdistribusi
normal, homogen serta memiliki kesamaan rata-rata, maka pengambilan sampel
dapat dilakukan secara acak. Adapun langkah dalam pengambilan sampel yang
penulis lakukan adalah menulis nama kelas dan memasukkan ke dalam kaleng
kemudian penulis undi. Kertas yang pertama terambil merupakan kelas
eksperimen, sedangkan pada kejadian pengambilan kedua merupakan kelas kontrol.
C.
Variabel dan Data
1.
Variabel
a.
Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini ialah perlakuan yang berupa
pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI) pada kelas
eksperimen, aktivitas siswa, pengelolaan pembelajaran oleh guru, dan respon
siswa.
b.
Variabel terikat
Dalam penelitian ini yang merupakan variabel terikat adalah hasil
belajar kedua kelas sampel dalam pelajaran matematika.
c.
Varabel kontrol.
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah guru, sumber dan
materi pelajaran, serta alokasi waktu pelaksanaan pembelajaran sama.
2.
Data
1)
Jenis Data
a)
Data primer dalam penelitian ini
adalah hasil belajar matematika siswa kelas sampel, data aktivitas siswa, data
lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran, dan data angket respon siswa.
b)
Data sekunder dalam penelitian ini
adalah data mengenai jumlah siswa kelas X MAN Koto Baru Padang Panjang.
2)
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
sampel, guru bidang studi matematika kelas X dan kantor tata usaha MAN Koto
Baru Padang Panjang.
D.
Prosedur Penelitian
1.
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dipersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan penelitian antara lain:
a.
Menetapkan jadwal penelitian
b.
Mempersiapkan RPP untuk
masing-masing kelas.
c.
Mempersiapkan Lembar Kerja Siswa
(LKS) untuk kelas kontrol.
d.
Mempersiapkan kisi-kisi soal tes
akhir.
e.
Menyusun soal tes akhir sesuai
dengan kisi-kisi yang telah dibuat.
f. Mempersiapkan lembaran observasi dan angket untuk mencatat
aktivitas siswa, pengelolaan pembelajaran dan respon siswa.
g.
Melakukan validasi soal tes akhir,
lembar observasi aktivitas siswa, lembar observasi pengelolaan pembelajaran dan
angket respon siswa.
h.
Melakukan uji coba soal.
i. Menyusun soal tes akhir berdasarkan analisis soal uji coba beserta
kunci jawabannya.
j. Mempersiapkan observer untuk mengamati aktivitas siswa dan pengelolaan
pembelajaran.
2.
Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini dilakukan proses pembelajaran pada masing-masing
kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3.
Tahap penyelesaian
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai
berikut:
a.
Memberikan tes akhir pada
masing-masing kelas sampel, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah
penelitian berakhir, untuk mengetahui hasil dari perlakuan yang diberikan.
b.
Memberikan angket respon siswa
kepada setiap siswa pada kelas eksperimen.
c.
Mengolah data hasil tes akhir,
lembar observasi, dan angket respon siswa.
d.
Menarik kesimpulan berdasarkan hasil
yang diperoleh sesuai dengan teknik analisis data yang digunakan.
E.
Instrumen dan Teknik
Pengumpulan Data
1.
Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas-aktivitas
siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif
model Teams Assited Individualization (TAI) yang kegiatannya
dilakukan oleh observer. Adapun kriteria aktivitas yang akan diamati antara
lain adalah sebagai berikut : kegigihan menyelesaikan soal, tanggung jawab
menyelesaikan tugas, rasa ingin tahu/inisiatif bertanya, dan mengungkapkan ide.
2.
Lembar Pengamatan Pengelolaan
Pembelajaran (Lembar Observasi)
Lembaran pengamatan pengelolaan pembelajaran digunakan untuk mengamati kegiatan guru dalam
pengelolaan kelas selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Adapun aspek-aspek
yang diamati adalah sebagai berikut:
1)
Kegiatan pendahuluan:
a.
Menginformasikan tujuan.
b.
Memunculkan rasa ingin
tahu/memotivasi siswa.
c.
Mengaitkan pembelajaran dengan
pengetahuan awa/prasyarat siswa.
d.
Mengorganisasikan siswa dalam
kelompok.
2)
Kegiatan inti:
a.
Menjelaskan materi yang mendukung
tugas yang akan diselesaikan dalam kelompok.
b.
Mengawasi setiap kelompok secara
bergiliran.
c.
Memberikan bantuan kepada
kelompok/individu yang mengalamai kesulitan.
d.
Memberi umpan balik.
e.
Memberi motivasi kepada kelompok
untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan tugasnya.
3)
Penutup: membimbing siswa membuat
kesimpulan.
4)
Pengelolaan waktu
5)
Teknik bertanya.
3.
Tes Hasil Belajar
Teknik pengumpulan data hasil belajar pada ranah kognitif yaitu
dengan melakukan tes yang dilakukan pada akhir penelitian. Instrument dari
penelitian ini adalah soal tes akhir dalam bentuk essay. Untuk mendapatkan alat
ukur yang baik, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Membuat kisi-kisi soal tes akhir.
2) Menyusun soal tes berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat.
3) Melakukan validasi soal tes akhir.
4) Melakukan uji coba soal tes akhir.
5) Menganalisis hasil uji coba soal tes akhir.
Analisis hasil uji coba soal dilakukan untuk menentukan soal yang
layak atau tidak layak untuk dipakai pada tes akhir. Analisis yang digunakan
adalah:
a.
Validitas
Sumadi menyatakan “validitas didefinisikan sejauh mana instrument
itu merekam/mengukur apa yang dimaksudkan untuk direkam atau diukur. Suatu alat
ukur disebut memiliki validitas jika alat ukur tersebut isinya layak mengukur
obyek yang seharusnya diukur dan sesuai dengan kriteria tertentu”[53].
Artinya kesesuaian antara alat ukur dengan dengan fungsi pengukuran dan sasaran
pengukuran. Bilamana alat ukur yang digunakan tidak valid, maka data yang
diperoleh juga tidak valid dan kesimpulan yang diperoleh menjadi salah.
Untuk menguji validitas empiris dapat digunakan jenis statistika
korelasi product moment dengan angka kasar dengan rumus:[54]
Untuk menafsirkan koefisien
korelasi dapat menggunakan kriteria sebagai berikut:
0,81 – 1,00 = sangat tinggi
0,61 – 0,80 = tinggi
0,41 – 0,60 = cukup
0,21 – 0,40 = rendah
0,00 – 0,20 = sangat rendah[55]
b.
Reabilitas Tes
Suatu tes dikatakan memiliki reabilitas apabila tes tersebut
digunakan berulang-ulang memperoleh hasil yang sama. Untuk menentukan
reabilitas tes digunakan rumus Alpha yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto
yaitu sebagai berikut[56]:
dimana :
r11 = reabilitas yang
dicari
= jumlah varians skor
tiap-tiap item
= varians total
Rumus varians [57]:
Nilai r11 yang diperoleh kemudian
dikonsultasikan dengan r product moment pada tabel dengan ketentuan jika
r11 > rtabel maka tes tersebut reliable.
c.
Tingkat Kesukaran Soal
Tingkat kesukaran soal adalah suatu bilangan yang menunjukkan
sulit mudahnya suatu soal. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah
dan tidak terlalu sulit. Menurut Zainal Arifin, untuk menghitung tingkat
kesukaran dapat digunakan langkah-langkah berikut[58]:
1) Menghitung
rata-rata skor untuk tiap butir soal dengan rumus:
2) Meghitung
tingkat kesukaran dengan rumus:
3) Membandingkan
tingkat kesukaran dengan kriteria berikut:
0,00 – 0,30 = sukar
0,31 – 0,70 = sedang
0,71 – 1,00 = mudah
4) Membuat
penafsiran tingkat kesukaran dengan cara membandingkan koefisien tingkat
kesukaran dengan kriteria.
d.
Daya Pembeda
Daya pembeda digunakan untuk mengukur kemampuan suatu soal untuk
membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan
rendah. Menurut Zainal Arifin, untuk menentukan daya pembeda soal dpat
digunakan rumus[59]:
Keterangan:
|
=
|
rata-rata
kelompok atas
|
|
=
|
rata-rata
kelompok bawah
|
|
=
|
jumlah
kuadrat deviasi individual dari kelompok atas
|
|
=
|
jumlah
kuadrat deviasi individual dari kelompok bawah
|
N
|
=
|
27 % x N
(untuk kelompok atas maupun kelompok bawah)
|
Soal memiliki daya pembeda
signifikan jika nilai thitung > t tabel dengan degree
of freedom (df) = (n1-1) + (n2 – 1) dan tingkat
kepercayaan 0,01.
e.
Kriteria Penerimaan Soal.
Untuk menerima apakah soal dapat diterima atau tidak, digunkan
kriteria yang dikemukakan oleh Prawironegoro, yaitu:
a)
Item tetap dipakai jika daya pembeda signifikan dan tingkat
kesukaran bernilai antara 0 dan 1.
b)
Item diperbaiki jika daya pembeda signifikan dan tingkat kesukaran
bernilai 100% atau 0% atau daya pembeda tidak signifikan dan tingkat kesukaran
bernilai antara 0% dan 100%.
c)
Item diganti jika daya pembeda tidak signifikan dan nilai tingkat
kesukaran adalah 0% atau 100%[60].
4.
Angket Respon Siswa
Angket digunakan untuk mengetahui respon siswa
terhadap pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited
Individualization (TAI). Angket respon siswa ini berisi pernyataan-pernyataan tentang
tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan. Angket
diberikan setelah akhir pembelajaran. Angket diisi oleh setiap peserta didik
yang mengikuti kegiatan pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe Teams Assited Individualization (TAI).
F.
Teknik Analisis Data
1.
Lembar Observasi
Observasi bertujuan untuk mengamati kegiatan yang dilakukan siswa
selama pembelajaran berlangsung. Data aktivitas siswa yang diperoleh melalui lembar
observasi dianalisis dengan menggunakan rumus persentase[61]:
Keterangan:
P% = Persentase aktivitas
F = Frekuensi aktivitas yang dilakukan
N = Jumlah siswa
Kriteria penilaian aktivitas belajar
yang positif adalah sebagai berikut:
a. Jika
persentase penilaian aktivitas adalah 1% - 25% maka aktivitas tergolong sedikit
sekali.
b. Jika
persentase penilaian aktivitas adalah 26% - 50% maka aktivitas tergolong
sedikit.
c. Jika
persentase penilaian aktivitas adalah 51% - 75% maka aktivitas tergolong
banyak.
d. Jika
persentase penilaian aktivitas adalah 76% - 100% maka aktivitas tergolong
banyak sekali[62].
2.
Lembar Pengamatan Pengelolaan
Pembelajaran
Data yang
diperoleh dari lembar pengamatan dianalisis dengan teknik rata-rata untuk
masing-masing pertemauan dengan menggunakan rumus:[63]
Keterangan:
=
rata-rata
=
jumlah seluruh nilai
= banyak aspek yang diamati
3.
Tes Hasil Belajar
Untuk menarik kesimpulan, maka pengujian hipotesis secara
statistik yaitu uji-t. Untuk melakukan uji-t maka terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas dan uji homogenitas variansi kedua kelompok.
a.
Uji normalitas
Melakukan uji normalitas terhdap masing-masing kelompok data
dengan menggunakan uji Liliefors. Dalam uji normalitas akan diuji hipotesis
yaitu:
H0
: populasi berdistribusi normal
H1
: populasi tidak berdistribusi normal
Untuk pengujian hipotesis menurut Sudjana mengemukakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Data x1,
x2, x3, … , xn diperoleh dan disusun dari data
yang terkecil sampai yang terbesar.
2) Data x1,
x2, x3, … , xn dijadikan bilngan baku z1,
z2, z3, … , zn dengan menggunakan rumus :
3) Dengan
penggunaan daftar distribusi normal baku dihitung peluang F(zi) = P
(z < zi).
4) Menghitung
jumlah proporsi skor baku yang lebih kecil atau sama zi yang
dinyatakan dengan S(zi) dengan menggunakan rumus:
5) Menghitung
selisih antara F(zi) dengan S(zi) kemudian tentukan harga
mutlaknya.
6) Ambil harga
mutlak yang terbesar dari harga mutlah selisih itu diberi simbol L0,
L0 = maks
7) Kemudian
bandingkan L0 dengan nilai kritis yang diperoleh dari daftar nilai
kritis untuk uji Liliefors pada taraf α = 0,05. Kriterianya adalah terima H0
jika L0 ≤ Ltabel.[64]
b.
Uji homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah kedua kelas sampel
mempunyai variansi yang homogen atau tidak. Untuk mengujinya dilakukan uji-F.
dalam hal ini akan diuji:
H0
: populasi mempunyai variansi homogen
H1
: populasi mempunyai variansi homogen
Rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis ini menurut Sudjana
adalah sebagai berikut:
Dengan:
= Variansi hasil
belajar kelompok eksperimen
= Variansi hasil
belajar kelompok control
Kriteria pengujian adalah
terima H0 jika Fhitung < Ftabel dan tolak
lainnya.[65]
c.
Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis digunakan uji kesamaan dua rata-rata. Yang
diuji adalah H0 : µ1 = µ2 dan H1 :
µ1 > µ2. Untuk melakukan uji kesamaan dua rata-rata
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas. apabila didapatkan
kedua kelas dari populasi yang terdistribusi normal dan memiliki variansi yang
homogen, maka uji yang digunakan adalah uji t. persamaan yang digunakan adalah:[66]
|
dengan
|
|
Dimana:
= nilai rata-rata
kelas eksperimen
= nilai rata-rata
kelas kontrol
s1 = standar
deviasi kelas eksperimen
s2 = standar
deviasi kelas kontrol
s = standar deviasi
gabungan
n1 = jumlah
siswa kelas eksperimen.
n2 = jumlah
siswa kelas kontrol
Harga
t hitung dibandingkan dengan harga t pada tabel distribusi t. Kriteria pengujian
terima H0 jika t < t1-α pada taraf nyata 0,05,
sedangkan untuk harga lainnya H0 ditolak.
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal dan tidak
homogen, maka gunakan t’:
Kriteria
pengujian adalah terima hipotesis H0 jika :
,
dengan:
dan
Jika data yang diperoleh tidak normal, maka gunakan uji
Mann-Whitney U dengan hipotesis sebagaiberikut:
H0: tidak ada perbedaan distribusi skor
untuk populasi yang diwakilkan oleh kelompok eksperimen dan kontrol.
H1: Skor untuk kelompok eksperimen secara
statistik lebih besar daripada skor populasi kelompok kontrol.
Untuk menghitung nilai statistik uji Mann-Whitney U, rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:
dimana:
U = Nilai uji Mann-Whitney
n1= sampel 1
n2= sampel 2
Ri = Ranking ukuran sampel[67]
4.
Angket Respon Siswa
Data respon siswa yang
diperoleh dari angket dianalisis dengan menggunakan teknik rata-rata dari
distribusi jawaban siswa, yaitu dengan menggunakan rumus:[68]
Keterangan:
=
rata-rata
= jumlah seluruh nilai
= banyak pernyataan yang diajukan.
[1] Fuad ihsan, Dasar-dasar kependidikan, (Jakarta :
Rineka Cipta, 1996), h. 2
[4] Erman Suherman, ..., h. 57
[7] Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 3
[8] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 2
[9] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003),
h. 92
[10] Muhibbin Syah, …, h. 132
[12] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya: Al-Mujaadilah
ayat 15, (Diponegoro,
Bandung:2008), hal. 543
[15] Agus Suprijono, …, h. 13
[19] Widyantini, Model
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif, (Yogyakarta: PPPG
Matematika, 2006) h. 3
[22] Rachmadi Widdiharto, Model-model Pembelajaran Matematika SMP, (Yogyakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2004) h. 13
[26] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2008)
h. 242
[27] Nur Asma, …, h. 19
[28] Anita Lie, Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative
Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
2002) h.41
[31] Widyanti.
Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif.Bahan ajar diklat di
PPPG Matematika, ( Yogyakarta: PPPG Matematika, 2006) hal. 9
[35] http://www.belajarkonseling.com/berita-146-tujuan-pengelolaan-kelas.html, diakses tanggal 25 Desember
2012
[36] http://www.belajarkonseling.com/berita-146-tujuan-pengelolaan-kelas.html, diakses tanggal 25 Desember
2012
[39] Erman Suherman, …, h. 223
[43] Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam
Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara. 2000), hal. 209
[45] Wina Sanjaya, …, h. 190
[46] Sumadi Suryabrata, Metodologi
Penelitian, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004) h. 104
[47] Tulus Winarsono, Statistik dalam Penelitian Psikologi dan
Pendidikan, (Malang: UMM Press, 2002), h.12
[48] Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan
Sosial, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h.69
[54] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran Prinsip, Teknik, Prosedur,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009) h. 254
[58] Zainal Arifin, …, h. 135
[60] Prwironegoro Pratiknyo, Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis
Soal Untuk Bidang Studi Matematika, (Jakarta: P2LPTK, 1985) h.16
[64] Sudjana, …, h.
466-477
[65] Sudjana, …, h. 249
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Zainal. Evaluasi Pembelajaran, Prinsip, Teknik,
Prosedur. Bandung: Rosdakarya. 2009
Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008
Asma, Nur. Model Pembelajaran Kooperatif,
Padang: UNP Press. 2008
Departemen Agama
RI. Al-Quran
dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro. 2008
Dimyati dan Mudjono. Penilaian Aktivitas Belajar. Jakarta:
Aksara Baru. 1999
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran.
Jakarta : Bumi Aksara. 2008
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Respon, diakses
tanggal 25 Desember 2012
Http://Www.Belajarkonseling.Com/Berita-146-Tujuan-Pengelolaan-Kelas.Html, diakses
tanggal 25 Desember 2012
Ihsan, Fuad. Dasar-dasar kependidikan. Jakarta :
Rineka Cipta. 1996
Iskandar.
Metodologi Penelitian Pendidikan dan
Sosial. Jakarta: Gaung Persada Press. 2008
Lie, Anita. Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia. 2002
Nasution.
Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. 2000
Pratiknyo, Prwironegoro.
Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal Untuk Bidang Studi Matematika.
Jakarta: P2LPTK. 1985
Sadirman. Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. 2011
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008
Slameto.
Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. 2010
Sudjana. Metode Statistik. Bandung: Tarsito. 2005
Suherman,
Erman. Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: JICA. 2003
Suprijono,
Agus. Cooperative Learning Teori dan
Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004
Syah,
Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2003
Walpole, Ronal. E. Pengantar Statistik. Jakarta : Gramadia Pustaka Utama. 1992
Widdiharto Rachmadi. Model-model
Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah. 2004
Widyanti.
Model Pembelajaran
Matematika dengan Pendekatan Kooperatif. Bahan ajar diklat di PPPG
Matematika.
Yogyakarta: PPPG Matematika. 2006
Winarsono, Tulus. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan
Pendidikan. Malang: UMM Press. 2002